Pasangan Ideal: Harapan Vs Kenyataan

Sahabat, ada yang tahu kenapa topik ini saya angkat pagi ini? Hohoho, silahkan ditebak ya sahabat, salah jawabannya gak dosa kok :) Jadi ceritanya begini sahabat. Semalam saya membaca sebuah tulisan berita yang cukup mencengangkan, fakta yang terjadi di negara kita tercinta. Informasinya diangkat oleh salah satu media nasional, dimana di tulisan mereka tertera informasi mengenai masih tingginya angka perceraian di Indonesia. Ada kurang lebih 300 ribuan kasus perceraian yang ditangani oleh pengadilan agama setiap tahunnya. Trennya meningkat. Terakhir di tahun 2016, angka perceraian di indonesia sudah mencapai 360 ribu kasus. Naik signifikan bila dibanding tahun 2010, yang masih berkisar di level 250 ribu kasus. Alasan perceraiannya pun bervariasi, mulai dari ketidakharmonisan komunikasi rumah tangga, faktor ekonomi, faktor perbedaan usia, dan yang paling terakhir karena faktor menikah terlalu dini.

Sahabat, tulisan ini hadir bukan dalam rangka mengkampanyekan gerakan ayo cerai. Namun, lebih ke arah membuka ruang diskusi kita, bahwa sebenarnya ada satu masalah krusial yang bila ia diselesaikan maka sudah tidak perlu lagi ada perceraian. Kita sih berharap bahwa angka perceraian itu akan terus menurun sampai menjadi nihil. Makanya tersisip doa dalam hati semoga Allah membantu kita dalam menjaga rumah tangga kita, agar ia terus terbina sampai ajal memisahkan. Jadi perpisahan itu alami ya sahabat, bukan yang dibuat-buat dengan perceraian. Yang masih baru membina bahtera rumah tangga juga perlu kita doakan ya sahabat, supaya mereka diberi kekuatan untuk menjaga kasih sayang dan romantisme hubungan mereka, kalau perlu langgeng sampai kakek nenek.

Kembali ke laptop. Tadi saya sempat menyinggung di paragraf kedua mengenai rumus jitunya, supaya kita bisa menurunkan angka perceraian di Indonesia. Apa iya bisa? Bisa banget sahabat. Kunci sederhananya adalah kesiapan mental dalam berumah tangga. Ia menjadi formula sederhana nan ajaib dalam menangkal hadirnya perceraian. Kesiapan mental ini berbicara sejauh mana kita dapat menerima kekurangan-kekurangan dari pasangan kita. Jangan cuma suka yang enak2nya saja ya sahabat. Kita harus mampu siap menjalani bagian pahitnya. Jangan sampai kita menjadi manusia pragmatis terbejat. Apa itu? Hidup cuma mau enaknya, kalau sudah ketemu pahit melarikan diri. Ah, ngeri dah! Gak jentel! Pepatah ini sepertinya terus melekat sebagai gambaran sifat dasar manusia "habis manis lalu sepah ia buang". Namun tidak semuanya dapat digeneralisir. Manusia ketika hijrah menjadi bijak, mereka tidak akan menjadi sepragmatis itu. Mereka menjadi lebih paham dalam menjalankan realitas hidup. Jadi sahabat, inilah yang akan mengikis perceraian, karena kita mau menerima manis dan pahitnya bersamaan. Kalau sudah menerima dua-duanya, lalu apalagi yang harus dibuang. Kalau sudah mentalnya menerima apa adanya, maka kelanggengan hubungan bersama pasangan hidup menjadi jalan hidup, tak perlu lagi direvisi ke arah perceraian.

Sahabat, tahukah anda, bahwa perkara yang dihalalkan namun dibenci oleh Allah Subhanahu Wata'ala adalah perceraian. Bukannya saya melarang ya sahabat, karena hal itu menjadi hak prerogratif sahabat untuk membuat keputusan hidup.  Karena bisa jadi, di luar sana, ada perceraian disebakan faktor keterpaksaan kondisi misalnya disebabkan oleh KDRT baik fisik maupun non-fisik, maka secara syar'i diperbolehkan, itu yang saya tangkap dulu waktu mendengarkan ceramah para ustadz di kajian keagamaan. Tetapi jika bukan karena alasan itu, maka jangan mudah mengumbar kata perceraian. Coba pikirkan matang2 dahulu sebelum berniat apalagi melakukan perceraian. Yah, cara terbaiknya adalah dengan memberi tangguh waktu, ril-nya gimana? Yakni dengan aktifitas sederhana seperti misalnya menulis di atas secarik kertas, ambillah kesempatan nge-listing berbagai alasan mengapa kita tidak perlu bercerai dengan pasangan kita. Coba lihat semua hal lainnya dari perspektif positif, apa sih kelebihan pasangan kita yang menjadi daya tarik membina hubungan rumah tangga dengannya. Dengan melakukan strategi ini sahabat, kita sama saja berlatih memberi tangguh waktu agar terhindar dari tindakan semberono mengumbar perkataan cerai.  Salah satu yang paling saya khawatirkan, dalam pandangan awam saya, bila kemudian orang tua menempuh jalur bercerai adalah munculnya anak2 broken home. Apa iya kita mau anak2 kita menjalani kehidupan yang pelik di kemudian hari akibat perpisahaan orangtuanya? Bayangkan, tidak sedikit jumlahnya lho anak memilih mencari kebahagiaan di luar sana, misalnya yang paling ekstrim dengan menjadi pecandu narkoba. Andai saja kasih sayang dan harmonisasi orangtua masih ada, maka mereka tidak perlu mencari kasih sayang di luar sana yang cenderung merusak moral kehidupan mereka. 

Sahabat, saya menyadari bahwa berhubungan dengan orang lain saja sudah susah, apalagi dengan pendamping hidup kita. Kita bicara masalah perbedaan pola pikir yang mungkin hadir. Si suami maunya A, sementara si istri maunya B. Ini kan gak ketemu, bawaanya jadi pengen berantem terus ya kan? Boleh jadi karena hal sepele itu terbetik rasa sakit hati dan tergoda iming2 setan untuk bercerai, "ayo kamu bercerai saja! Dia bukanlah orang yang cocok untukmu, dia egois!" Kalau emosi yang memandu nalar kita, maka kelar urusan, perceraian itu di depan mata. Tapi sahabat jika kita bijak, dengan mentalitas yang tergembleng, persoalan remeh mengenai beda keinginan dapat diselesaikan jika salah satu diantara kita mengalah. Itulah yang namanya mental siap menang sahabat, gak melulu harus menang karena cara ngototnya lebih jitu. Tapi menanglah dengan metode kelembutan dan kasih sayang yakni dengan cara mengalah. Intinya kita mengalah demi kemenangan hakiki, yakni kemenangan rumah tangga kita. 

Poin besarnya dari tulisan saya, sebagaimana judul membimbing diskusi kita, bahwa tidak ada yang sempurna dalam berumah tangga. Ingatlah, salah satu pemicu mulainya keretakan rumah tangga tidak lain adalah sikap tidak menerima kekurangan pasangan. Paling penting lagi ini sahabat, wajib bagi kita untuk menurunkan standar ekspektasi atau harapan terhadap pasangan hidup kita. Makanya judulnya menjembatani pemahaman kita, harapan versus kenyataan. Saya yakin seorang wanita mendambakan suami hebat, sebaliknya seorang laki-laki juga sama mendambakan hadirnya seorang istri yang hebat. Saya tidak perlu menyebutkan standar hebatnya bagaimana, karena sahabat lebih tahu standar harapan akan pasangan hidup. Terimalah kenyataan bahwa pasangan kita bukan malaikat. Kalau kita berharap menikah dengan pasangan hidup yang sempurna maka menikahlah dengan malaikat, mereka itu tak punya cacat sedikitpun! Namun, karena sahabat memilih pasangan dengan spesies sejenis, maka pahamilah sifat dasar manusia adalah tempatnya kesalahan dan kekurangan. Jadi hadapilah realitas yang ada, bahwa membina hubungan dengan pasangan hidup tak seenak drama korea ya sahabat. Selalu ada lika likunya, selalu banyak tidak enaknya. Anggaplah yang tidak enaknya itu sebagai obat pahit yang akan menjadi pengingat untuk memperbaiki diri dan kekurangan kita masing-masing. Ingatlah pula sahabat resiko memasang standar harapan yang terlampau tinggi hanya akan membuat kita berkutat membahas kekurangan pasangan kita. Padahal sejatinya kita dibuat berpasang-pasangan oleh Sang Khaliq untuk mengisi kekurangan satu sama lain.

Yah itu dulu yah sahabat tulisan saya kali ini, semoga bermanfaat.

Dari Sahabatmu La Saleh - Bapak Rumah Tangga Jaman Now Kekinian

Comments

Popular posts from this blog

Sekapur Sirih

Indonesia vs Negara Lain: Pilih Punya Banyak Anak atau Sedikit?

Gigitan Kelabang dan Hikmah Pembelajarannya